Dan Daun pun Gugurlah... [1] WAKTU bergerak tak terbendung. Seolah Batara Kala sedang menyeret gerobak nasib, dan memunguti orang-orang yang malang, yang terlindas roda gerobak mautnya. Gumpalan awan hitam bergerak lamban, bergemulung, dan sesekali mengerjapkan kilatan lidah petir. Perubahan itu terjadi tanpa ada yang benar-benar menyadarinya. Peristiwa demi peristiwa menyelusur malam menuju siang, menggapai senja dan tenggelam dalam kelam malam, untuk menggeliat kembali tanpa ada yang mampu menghentikannya. Seperti sulur tali putri, yang tiba-tiba menguning, memenuhi rumpun beluntas di pekarangan rumah. Seperti sarang laba-laba, yang tiba-tiba "ada" di sudut-sudut tembok rumah kita. Perang besar dua keluarga keturunan Bharata itu usai sudah. Perang besar itu tidak hanya menumpahkan darah dan membasahi lembah Kurusetra, tetapi juga meminta korban-korban lain yang tak sempat dicatat oleh sejarah. Ah, sejarah. Makhluk apakah dia, yang tak bisa berbuat apa-apa kecuali mencatat peristiwa dalam diam. Dia begitu lunak, sehingga sering kali hanya mau berlindung pada ketiak para penguasa. Sejarah adalah makhluk pengecut yang sering kali ketakutan memandang mata pedang para kesatria dan pembesar istana. Dengan dalih ketakberdayaannya, sejarah hanya bisa menangis memandangi manusia-manusia berkeringat yang kalah oleh kekuasaan. Dengan gaya aristokratnya, sejarah hanya bisa melirik para prajurit yang perutnya koyak oleh tombak, atau dadanya hancur terinjak kaki gajah, kemudian mendesahkan ungkapan klise: zaman memang tak pernah adil bagi yang papa. Perang besar itu memang dimenangkan pihak Pandawa. Yudhistira dan adik-adiknya berhasil memiliki kembali apa yang menjadi hak mereka. Memang, sekali lagi, sejarah mencatatnya demikian. Mungkin kali ini sejarah memang benar, tetapi yang jelas, bukan satu-satunya kebenaran. Paling tidak, itulah yang dirasakan Semar ketika mata rabunnya menyaksikan berbagai perubahan yang terasa begitu menyentak tatanan kerajaan Hastinapura. Panah-panah fitnah melesat-lesat, dan korban berjatuhan bagaikan dompolan jambu air tersodok galah bambu. Peristiwa yang menimpa Patih Gandamana, dulu, di jaman pemerintahan Prabu Pandu, terulang dan menjadi hal biasa. Air mata Semar mengalir perlahan menyaksikan keruntuhan Hastinapura, justru ketika Pandawa berada di puncak kejayaannya. *** IRING-IRINGAN manusia dengan tetabuhan kemenangannya itu tampak bagai aliran sungai. Meriap-riap, sesekali tombak, tameng dan logam-logam lainnya tertimpa cahaya senja. Matahari seakan memanjakannya, memandikan para pahlawan perang itu. Kuda-kuda meringkik, entah menyanyi, entah mengerang, mewarnai senja merah, iring-iringan pasukan Pandawa. Wahai sang waktu, apa sebenarnya yang sedang kau lakukan saat ini? Mengapa tidak pernah kau rasakan kelelahan dalam menjalani kehidupan di dunia ini? Kau berjalan dan berjalan, mengikuti setiap denyut kehidupan, menyeret dan membawa siapapun ke dalam dekapanmu. Tak satu pun yang mampu menolakmu. Tak satu pun mampu menandingi kekuatanmu. Mungkinkah engkau adalah kehidupan itu sendiri? Jika memang demikian, mengapa bahkan yang telah mati pun masih saja kau seret dan kau lumatkan? Apakah engkau adalah kehidupan dan kematian itu sendiri? 0Begitulah Aswatama meratap. Hatinya pedih menyaksikan kehancuran negaranya. Di sinilah dia dibesarkan. Sokalima, tempat yang sejak kecil dikenalnya itu, terseret kehancuran bersama matinya Dorna. Para pengikut setia, bahkan penduduk di sekitarnya, seakan tak mengenalnya lagi. Mereka bukan saja mencemooh, namun dengan terang-terangan mempermainkan ayah yang sangat dicintainya. Dari kejauhan, Aswatama menatap iring-iringan yang bergerak memasuki tapal batas Hastinapura. Ada kemarahan yang dengan jelas tergambar di sorot matanya. Rencana apakah yang akan dilancarkannya, ketika sebuah tatanan berganti? Hanya sehari setelah berita kematian Dorna di medan Kurusetra, penduduk Sokalima seakan berterimakasih kepada para dewa. Mereka segera melakukan upacara syukuran. Para pembantu dan pengawal yang selama ini diperintahkan untuk menjaga rumah Dorna, pada saat itu juga bersorak. Bahkan ada beberapa orang yang kemudian-entah dari mana-mengeluarkan sebumbung arak dan menenggaknya hingga habis. Ketika Aswatama tergopoh-gopoh melarikan diri dari medan laga, dia sempat terhenyak menyaksikan rumahnya telah porak-poranda. Perlahan-lahan dia saksikan orang-orang membongkar apa saja yang ditemuinya di dalam rumah itu. Aswatama tak kuasa berbuat apa-apa. Jiwanya yang sempat bergolak karena marah, tiba-tiba menciut. Orang-orang itu seperti kesurupan iblis. Mereka mengayun-ayunkan pedang mengancam Aswatama. Bahkan dua tiga orang sempat meringkusnya. Orang-orang itu seperti mendapatkan tempat untuk melampiaskan kemarahan yang selama ini terpendam. Entah apa yang mereka pikirkan, namun yang jelas Aswatama harus melawan demi keselamatan nyawanya sendiri. Sebilah pedang dihunusnya, dan dengan sekuat tenaga dia lawan manusia-manusia itu. Tubuh-tubuh mabok itu bermandi darah. Aswatama berlari. Air matanya beku, bola matanya merah membara. Dia marah pada orang-orang itu. Dia marah pada peperangan. Dia marah dan benci pada dirinya sendiri. Di punggung kudanya dia kemudian berlari, bersembunyi ke dalam rimba. Ke awal ringkasan Dan Daun pun Gugurlah... [2] Dia menangis. Dia melolong kepada siapa pun yang dirasakannya mampu dan mau mendengarkan jeritan pedih hidupnya sebagai lelaki pengecut. Terbayang ayah yang dicintainya terpenggal pedang Drestajumena. Ayunan itu begitu dahsyatnya sehingga Aswatama tak mampu berbuat apa-apa. Sebagai anak, dia ingin membela, namun entah mengapa jiwanya selalu penuh pertimbangan. Dia ragu. Dia hanya diam. Dan diam-diam mengutuki dirinya sendiri yang tak mampu berbuat apa-apa. Aswatama meraung-raung, membuat kelelawar beterbangan, menyangka hari telah senja. Krepa tua hanya mengelus jenggot putihnya. Dia hanya bisa melihat lelaki muda itu dengan pandangan sedih sekaligus benci. Aswatama, saat itu, di mata Krepa seolah anak kuda yang ingin menyusu pada induknya. Rambutnya yang kasar mirip ekor kuda itu, kian mengerikan setelah sekian lama tak terurus. "Apa yang bisa kau lakukan selain menjalani apa pun garis nasibmu?" ucapnya setengah mengejek. Aswatama terdiam. Matanya merah. Perlahan dia pandang lelaki tua yang selama ini menjadi orang penting kerajaan Hastinapura. "Kau biarkan dirimu selalu ditunggangngi keadaan. Kau biarkan dirimu menarik beban. Keperkasaanmu hanyalah penghias dan kelengkapan bagi tuanmu, tak pernah bagi dirimu sendiri. Dan kini kau melolong menunggu kematianmu." "Diam!" Krepa tertawa kecil. "Coba teriakkan 'jangan', coba..." ucap Krepa sambil menancapkan pandangan ke mata Aswatama. Aswatama menggigil, kemudian meratap. Dia tak pernah bisa mengucapkan kata-kata itu. Dia sejak kecil memiliki kepatuhan aneh terhadap orang yang dirasa menyayanginya. Patuh, tunduk, takluk. itulah yang dirasakannya selama ini. Dia ingin mengucapkan kata itu, tapi tak pernah mampu dia melakukannya. "Aku hanya ingin tahu, benarkah kau mencintai ayahmu?" "Aku mencintainya. Dari dia aku merasakan kasih sayang," raung Aswatama. "Kasih sayang? Dari dia? Lelaki yang dengan enteng mengumpat istrinya sebagai kuda binal dari Tempuru?" Krepa kemudian memandang serombongan barisan di kejauhan yang seakan tak habis-habisnya itu. "Perubahan begitu cepatnya terjadi, sampai-sampai aku bahkan belum sempat berkedip. Tiba-tiba kusaksikan rambutku telah memutih. Tetapi, ucapan Kumbayana-ayahmu itu, kepada kakakku-ibumu, tak akan pernah hilang. Aswatama terdiam, matanya menerawang jauh. Siapakah ibuku sesungguhnya? Mengapa orang menyebutku anak kuda? "Kakakku adalah wanita cantik dan lembut. Kulitnya kuning bagai gading. Tutur katanya renyah, dan dia adalah prenjak istana. Banyak pangeran yang tersedot hatinya. Dan ... kakakku, Dewi Krepi adalah wanita yang sangat menyukai pesta pora, dialah bunga pesta istana. Dia mencintaiku, karena akulah satu-satunya saudara yang dimilikinya. Aku pun berjanji akan melindunginya seumur hidupku. Ketika pada suatu hari dia berkata bahwa dia berjumpa dengan seorang satria gagah memesona, aku segera mencarinya. Aku tak ingin dia diganggu. Aku tak ingin dia jatuh ke tangan lelaki yang tak kami kenal. Tetapi, laki-laki itu licik. Dia curang. Dia pikat Krepi dengan pesonanya. Lelaki aneh itu, dengan lagak congkaknya, selalu membangga-banggakan diri bahwa dia adalah putra resi Baratmadya, dan memiliki seorang saudara yang mungkin telah jadi raja. Aku muak setiap kali dia dengan sombongnya bercerita tentang itu. Pesolek ini membuatku jengkel. Namun, kakakku ternyata benar-benar jatuh cinta kepadanya. Siang malam, hanya Bambang Kombayana yang menghias bibirnya. Kurasa, saat itu, dia terkena gendam. Sederhana saja, dia kawini kakakku dan lahirlah engkau." Aswatama termangu. Kepalanya terlalu kecil untuk begitu banyak pertanyaan yang membubung memenuhi rongga tengkoraknya. "Tapi, banyak yang mengatakan bahwa ibuku adalah bidadari, Dewi Wilutama, yang konon dikutuk menjadi kuda. Mengapa paman mengatakan sesuatu yang lain lagi? Lalu ke mana, Dewi Krepi, yang katamu adalah ibundaku?" "Hei, Aswatama, cobalah berkaca pada permukaan danau itu. Kau akan melihat kuda, apabila kau yakin akan melihat kuda. Dan kau akan melihat monyet, jika keyakinanmu memang demikian. Kisah bisa dijalin. Cerita bisa dikarang. Dan apakah kau akan percaya begitu saja, ada seorang kesatria gagah, ketika melihat kuda betina, betapapun cantiknya, kemudian birahi dan menyetubuhinya? Hahahahaha... apakah dunia sudah kehabisan wanita sehingga seorang kesatria muda kehabisan akalnya dan melampiaskan birahinya pada seekor kuda betina? Berpikirlah yang jernih Aswatama," Krepa tua terbahak-bahak menyaksikan Aswatama terpekur, seakan mulai memikirkan kebenaran tuturannya. Ke awal ringkasan Dan Daun pun Gugurlah... [3] ''Kau adalah anak kakakku. Dalam tubuhmu masih mengalir darahku. Entah bagaimana perasaanmu, tetapi aku kurang menyukai ayahmu. Meskipun demikian, aku akui, dia memang seorang kesatria luar biasa. Kehebatannya menggunakan senjata, terutama panah, memang boleh dibanggakan. Sebenarnya, wajahnya pun lumayan gagah. Hanya mulutnya yang terlalu ceriwis, mirip mulut perempuan. Suatu kali, Kombayana bermaksud mencari saudaranya yang bernama Sucitra yang katanya telah menjadi raja di Wirata. Aku tak tahu apa yang terjadi di sana. Yang kami ketahui, dia kembali nyaris kehilangan nyawanya. Dia sekarat, berlumuran darah dan wajahnya cacat seperti yang kau kenal sampai ajalnya tiba itu. Sejak itu, dia menjadi pendendam. Mudah tersinggung dan cepat naik darah. Entah sudah berapa kali, seluruh istana mengetahui pertengkaran terjadi antara ayah dan ibumu.'' Aswatama mendengarkan penuturan Krepa tua dengan seksama. Angin membelai rambut kasarnya. Dewi Krepi yang muda, cantik dan gemar berdandan, lama-lama jengkel menghadapi suami pemurung dan selalu meratapi nasib buruknya itu. Banyak bangsawan dan kesatria yang tahu, hubungan suami istri itu nyaris retak. Malam-malam mereka dilalui dengan kebisuan dan kekeluan. Inilah celah untuk memercikkan api cinta. Dewi Krepi, bunga pesta, kepayang melayang di antara para kesatria. Sampai suatu kali, Kombayana memergokinya bercumbu dengan seorang kesatria. Meledaklah sumpah serapahnya, dikeluarkannya kata-kata bahwa Dewi Krepi hanya tunggangan kaum lelaki. Sejak itu, sifat Dewi Krepi kian menjadi. Arak, anggur, dan tuak menjadi bagian hidupnya yang seakan menyerah pada apa pun yang bernama suka cita. Seakan dia tak ingin dunia tahu dirinya luka. ''Jadi itukah sebabnya, orang sekelilingku memberiku julukan Aswatama si anak kuda? Namun di manakah ibuku, kini?'' ''Kehidupan menenggelamkannya dalam danau kesedihan yang dalam. Dia bertapa, menebus lembaran kehidupannya, dan entah bagaimana kini nasibnya.'' Aswatama sekali lagi hanya terdiam. Begitu banyak pikiran-pikiran aneh berkecamuk di dalam dadanya. Berdesakan menguda liar, ingin keluar dari kandangnya. Pupus sudah harapannya akan menikmati hari tua di Sokalima. Peperangan telah menghancurkan segala impiannya. Dan, terutama kepada Arjuna. Ya, Arjuna yang berani bermain api dengan Banuwati, istri Suyudana. Ah, Banuwati, Banuwati si cantik cerdas, tangkas, dan gerakan tubuhnya yang menciptakan hawa panas. Jika saja ya, jika saja tak ada Arjuna tentu cintanya akan terbalas. Aswatama tahu, Banuwati memang memeluk Arjuna namun membiarkan tubuhnya digerayangi Suyudana dan dirinya. Ah, Aswatama ... kau cukup melihat keindahan betis bercahaya itu. Jantung Aswatama bergejolak, bila mengingat itu semua. Banuwati seakan menaruh perhatian juga kepadanya. Namun kini semua hancur. Banuwati meneruskan cintanya dengan Arjuna. Meraung sang anak Dorna, melolong melepaskan sebuah impitan luar biasa yang menghancur-lumatkan jiwanya. Sementara itu, sebuah upacara boyongan terjadi di Hastinapura. Negeri yang dibangun oleh Palasara dan dikenal dengan sebutan Negeri Gajahwoya itu, megah bertatahkan ukiran gading, sesuai dengan banyaknya gajah yang hidup di wilayah itu. Prabu Yudhistira berhenti sejenak, membiarkan anak rambutnya yang telah ditumbuhi uban itu dipermainkan angin. Sorak-sorai senyap seketika. Dia mengenakan jubah putih yang sebagian dililitkan ke tubuh bagaikan pertapa. Rambutnya masih digelung dengan lingkaran menatap bumi. Sebuah permata biru menghiasi keningnya. Banyak orang menyangka, Arjuna adalah Prabu Yudhistira, karena pakaian yang dikenakannya gemerlap dan paling mencolok di antara kelima manusia perkasa itu. Rakyat Hastina, selama ini hanya mendengar-dengar kabar, Yudhistira itu seperti ini, atau Arjuna itu begitu dan seterusnya. Yang mereka hafal adalah Bima, karena tubuhnya yang tinggi besar, melebihi ukuran manusia biasa. ''Inikah raja kita yang baru, pakne?'' bisik seorang wanita muda pada suaminya. Sesekali dia memanjangkan lehernya, menyelip-nyelipkan pandang di antara kepala-kepala orang lain. ''Yang itu, yang memakai serbaputih.. Aku pernah melihatnya sekali, dulu, saat aku masih bocah. Ya, ya.. wajahnya tidak berubah, hanya tampak lebih tua.'' ''Kalau yang kembar itu?'' ''Itu Raden Nakula dan Sahadewa. Aku tak pasti, ketika ada kebakaran istana di Hutan Waranawata dulu, rasanya mereka sedikit lebih besar dari aku. Aku tak pasti, sudah lama sekali,'' jawab suaminya dengan pandangan tak kalah kagum. ''Hmm ... itu pasti Raden Arjuna. Gagah memang.'' ''Ya ... tapi istrinya banyak.'' Istrinya terdiam sejenak, lalu katanya, ''Aku tidak menyalahkan perempuan mana pun, karena pesonanya memang luar biasa.'' (Bersambung) Ke awal ringkasan Dan Daun pun Gugurlah... [4] "Dia sudah tua, sudah jadi kakek!" jawab suaminya dengan nada keras. Istrinya tersenyum, dia merasakan sengatan cemburu sang suami. Seorang petinggi Hastinapura memimpin upacara. Seratus wanita muda berbaris, dengan mengenakan kain terbaik kebesaran Hastinapura. Penutup dada dibuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah sengaja mempertontonkan sepasang cengkir gading indah, persembahan bagi para penguasa baru itu. Lima orang di antaranya membawa bokor berisi air mawar dan lima orang berikutnya membawa kalungan bunga warna-warni. Seorang demi seorang keluarga Pandawa membiarkan kaki mereka dibasuh air mawar dan menerima kalungan bunga. Petinggi Hastinapura yang telah renta itu kemudian menyerahkan tongkat kebesaran Hastinapura kepada Yudhistira, lalu mempersilakan sang raja menuju singgasana. Pandawa lima bersaudara melangkah, diiringi para kesatria. Tampak Sasikirana, anak Gatotkaca, Sanga-sanga anak Setyaki, Drestajumena, dan Utari, istri Abimanyu yang tengah hamil tua, berjalan di belakang para sesepuh Hastinapura. Permadani bertabur melati, kantil dan pandan wangi menghampar, menjadi alas kaki para pembesar yang akan mengendalikan kerajaan besar Hastinapura. Para pujangga istana melantunkan kidung-kidung pujian. Suara mereka mengisi balairung dengan nada-nada agung, diiringi gamelan yang lirih merayap merasuk kalbu. Asap dupa dan wewangian, panjatan doa dan pujian, silih berganti menandai peresmian pergantian tata pemerintahan. Seluruh rakyat Hastinapura, yang kini kebanyakan adalah para janda dan orangtua serta anak-anak, menggantungkan harapan kepada raja baru mereka. Mereka berharap pajak-pajak dihentikan, karena darimanakah mereka mampu menggarap sawah ladang serta ternak mereka? Perang besar telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Mereka berharap bahwa dalam waktu yang cukup lama, jangan ada lagi peperangan. Biarkanlah remaja kami tumbuh dan beranak pinak, menikmati darah ayah-ayah mereka yang tumpah membela negara. Pesta peralihan tampuk kekuasaan itu disempurnakan dengan pertunjukan wayang kulit sehari semalam, dengan dalang kondang, Kyai Togog Tejamantri. Dalang yang sudah sangat tua usianya dan memiliki cerita yang luar biasa memukau. Belum genap satu purnama, Prabu Yudhistira telah mengganti hampir seluruh pejabat istana hingga ke desa-desa. Pembersihan itu dilakukan dengan tegas dan telak. Perhitungan pajak dan upeti dibuka. Mereka yang tak mampu melaporkan kekayaan negara dengan benar, atau tak memiliki catatan apapun, menerima nasib di tiang gantungan. Rakyat bersorak menyambut ketegasan raja baru mereka. Sebagian besar pejabat yang sudah terkena hukuman mati adalah mereka yang berasal dari Plasajenar. Kerabat patih Sengkuni, yang menduduki berbagai jabatan, berguguran seorang demi seorang. Percik api kemarahan, dendam dan ketidakrelaan, mulai berpijar di sana-sini. Ketegasan Yudhistira, sebagai raja, bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi memangkas benalu negara, di satu sisi dimanfaatkan untuk membasmi dendam-dendam pribadi yang tak ada kaitannya dengan kenegaraan. Di sinilah bermunculan fitnah, yang berakhir di tiang gantungan. Salah dan benar perlahan-lahan menjadi kabut yang tak kentara benar bedanya. Hitam dan putih menyatu menjadi kelabu, sehingga sulit ke manakah sebenarnya mata pedang keadilan itu terarah. Hampir setiap hari terjadi hukuman mati. Ketegangan dan kegelisahan merayap cepat ke setiap pelosok desa. Setiap saat para petani, membicarakan siapakah yang pada hari itu menemui ajal di tiang gantungan. Anak-anak kecil menciptakan permainan tiang gantungan dengan menggantung batang ilalang atau daun, seakan-akan menjadi raja yang tengah menegakkan keadilan. Genap memasuki purnama ketiga, raja mengeluarkan maklumat. Di balairungnya, Yudhistira mengucapkan maklumatnya dengan tenang, disaksikan pejabat dan petinggi istana. "Saudara-saudaraku.. keringat belum lagi kering, sementara kerja belum usai jua. Kelelahan tentu tak terbayangkan lagi, namun apa daya.. halaman rumah kita masih dipenuhi ilalang dan rumput teki. Semak belukar masih mengakar di sana-sini, onak dan duri masih menebar menggores dan menusuki telapak kaki. Aku melihat, bentangan jalan dari Hastinapura ke mancanegara. Pelabuhan-pelabuhan dagang dan jalur-jalur ke berbagai desa menunggu perbaikan. Perang menghanguskan semuanya. Apa boleh buat, tak seorang pun menginginkannya, namun semua sudah terjadi. Aku, Prabu Yudhistira, raja Hastinapura, keturunan Pandudewanata, yang dilindungi Batara Darma.. menitahkan seluruh manusia yang menghirup udara Hastinapura untuk membangun kejayaan negara kita." Tepuk tangan menggemuruh mengisi balairung pagi itu. Beberapa petinggi berkomentar tak jelas. Beberapa tampak terkesima, dan sebagian yang lain hanya senyum-senyum membayangkan sesuatu, entah apa. Maklumat itu disampaikan ponggawa ke desa-desa. Setiap kepala desa, kepala dukuh, di kota hingga pegunungan mendengar maklumat itu dari pembawa warta istana. Beratus-ratus ponggawa diturunkan ke seluruh wilayah Hastinapura. Utusan-utusan berkuda disebar mewartakan maklumat raja baru kepada seluruh negara jajahan. (bersambung) Ke awal ringkasan Dan Daun pun Gugurlah... [5] ''Hai penduduk Klampis Ireng, dengarkan sabda paduka maharaja Yudhistira putra Pandudewanata yang dilindungi Batara Darma. Untuk membangun negara yang kita cintai ini, untuk memakmurkan bumi yang melahirkan kita ini, maka dengan ini disampaikan bahwa agar setiap penduduk yang menghirup udara di bawah payung kebesaran Hastinapura untuk secara suka rela memberikan darma bakti demi negara,'' ucap punggawa berpakaian kebesaran istana. Dengan panji-panji berlambang kepala gajah dengan belalai mendongak ke langit, punggawa itu membacakan maklumat dari atas punggung kudanya. Semua warga Klampis Ireng jongkok mendengarkan sesuatu yang tak benar-benar mereka pahami. Mereka, selama maklumat dibacakan, hanya saling pandang kosong di antara sesama mereka. Ki Lurah Badranaya yang menjadi lurah di desa kecil itu mendengarkan semua dengan jernih. Matanya yang selalu berair, seolah dimakan kutu air itu terpejam. Sesekali mulutnya komat-kamit seakan merasakan pegal-pegal karena lama tak bicara. Bibir tuanya yang kian renta itu masih saja selalu menunjukkan senyum kebahagiaan dan keikhlasan luar biasa. Giginya bawahnya yang tinggal dua itu tersembul di antara bibirnya. Sesekali tangannya mengusap kepalanya yang nyaris botak. Kepala itu seakan bola dunia yang selalu berpikir keras, sehingga tak menyisakan rambut untuk tumbuh di atasnya, kecuali sejumput kuncung menutup ubun-ubun yang kini putih agak kemerahan dimakan usia. Badranaya alias Semar yang juga dikenal sebagai Duda Manang-munung, wajahnya selalu bersinar bagai rembulan tanggal 14. Siapa pun yang memandangnya akan merasakan suasana cerah, penuh pesona rindu dan kasih sayang. Kepadanyalah warga Klampis Ireng bertanya tentang semua yang baru saja mereka alami bersama itu. ''Kiaine, jika saya tidak salah tangkap rasanya ini kok seperti kerja paksa?'' ucap seorang lelaki tua namun berbadan tegap itu kepada Semar. ''Betul Kiaine, saya cuma punya kambing. Lantas apa, demi negara, kambing saya yang bungkring itu juga diserahkan? La, kami sekeluarga makan apa?'' tambah yang lain lagi. Semar hanya tersenyum sebagaimana biasanya ketika masih menjadi orang dekat keluarga Pandawa. Tak lama suara tawanya pecah, terkekeh-kekeh. ''Ya ... yaaah, aku mengerti, perut kalian mendendangkan lagu kekosongannya. He he he he he ... aku pun tak punya jawaban. Membangun Hastinapura adalah kewajiban kita, namun ada yang rasanya aneh dalam pelaksanaannya. Benarkah guci-guci permata, kotak-kotak emas istana telah habis tandas semua? Ah ... anak-anakku semua, aku akan mencari tahu jawaban ini. Beri aku waktu. Aku akan ke ibu kota, mencari tahu, duduk perkara sebenarnya. Bersabarlah dan sementara itu bekerjalah seperti biasa.'' Ucapan Semar menyejukkan hati warga Klampis Ireng. Sebagaimana hari-hari sebelumnya, hari itu pun merambat sebagaimana lazimnya. Siang terlalu panas, malam terlalu dingin. Pada saat itulah, Semar berjalan kaki menuju ke ibu kota. Gunung didakinya, jurang dituruninya, lembah dirambahnya. Desa demi desa, kampung demi kampung dilaluinya. Hingga pada suatu hari, orang tua berbadan tambun itu menemukan sebuah kampung yang seolah mati. Perasaannya terganggu melihat begitu banyak rumah kosong, dengan pintu menganga menampakkan kegulitaan di dalamnya. Ada lesung dan alu yang tampak sudah berminggu-minggu dibiarkan di halaman. Tak ada celoteh bocah atau nyanyian para ibu meninabobokkan anaknya. Rumah di sebelahnya pun tak jauh beda, bahkan pagar halamannya hancur seakan diterjang barisan kerbau liar. Pohon turi yang seharusnya tegak di batas halaman, kini melintang rebah di tengah halaman. Daun-daunnya cokelat mengering. Di batangnya tampak bekas luka bacok senjata tajam. Semar menyapu pandang dan semua rumah yang ada di hadapannya merana ditinggal pergi penghuninya. Semar melanjutkan langkah. Kian jauh dia berjalan, kian menyedihkan pemandangan yang disaksikannya. Beberapa rumah tampak tinggal rangka bambu yang tak utuh lagi, api menghanguskan hampir seluruhnya. Bulu kuduk Semar mendadak meriap, seakan sebuah sasmita akan adanya roh melayang memberitahukan bahwa sebuah pembantaian pernah terjadi di rumah itu. Perlahan Semar melangkah memasuki pekarangan sebuah rumah yang hangus itu. Kini bukan hanya bulu kuduknya, bulu-bulu di lengannya pun berdiri. Semar mengucap salam dalam batinnya yang suci, memanjatkan doa penenteram bagi arwah yang marah. Ketenangan yang memancar dari jiwanya yang elok membuat tenaga gaib itu seakan memahami maksud kehadiran Semar di tempat itu. Dengan duduk bersila, menutup sembilan lubang yang melengkapi hidup manusia, Semar menginjakkan diri pada alam yang tak memerlukan inderawi. Di sinilah Semar menyaksikan sosok-sosok yang tengah merenung di antara arang-arang rumah mereka. ''Siapakah kalian wahai saudaraku?'' sapa Semar dalam bahasa yang tak memerlukan lidah untuk mengucapkannya. ''Mereka menumpas kami, hanya karena kami berbeda,'' sebuah suara seakan-akan menyembur lantaran mendapatkan kesempatan meletup. Semar tersenyum dalam diamnya. Dibiarkannya suara itu meluap-luap melepaskan amarah yang selama ini terpendam karena tak satu pun yang mampu mengeluarkannya. (bersambung) Ke awal ringkasan Dan Daun pun Gugurlah... [6] Dari penuturannya itulah Semar memahami, betapa semuanya kini menjadi kacau balau. Mereka, para arwah itu, adalah pemuja Hyang Brahma, dewa penguasa api. Penyerang mereka adalah para pemuja Hyang Indra. Entah mengapa, sejak pergantian kekuasaan di hastinapura, kedua paham itu begitu mudahnya berseteru, bahkan memuncak ketika upacara yang biasanya bisa dilakukan bersama-sama, menimbulkan perselisihan. Dari sebuah kesalahan kecil, bagaikan api yang membakar hutan, dalam sekejap menjadi pergolakan hebat, dan berakhir dengan penghangusan perbedaan. Semar dengan bibir yang selalu tersenyum itu, menyimak semua luapan amarah para arwah dengan tetesan airmata yang mengalir dari matanya. "Kau.. manusia tua renta.. apa yang kau sembah?" Semar menjawab dengan hati-hati, bahwa dirinya menyembah kebenaran. Baginya, tak penting mengenakan pakaian apa, tetapi bagaimana mengenakannya dengan benar yang menjadi perhatiannya. Karena baginya, tujuan penyembahan adalah untuk membersihkan setiap jiwa, mendapatkan terang cahaya, agar hidup menjadi bersih, lurus dan bersinar terang. Apabila tidak mendapatkan yang demikian, maka sia-sialah apa pun yang disebut penyembahan. "Karena, bukankah kita semua diciptakan untuk mengagungkan dan memuliakan Sang Maha Pencipta? Jika yang terjadi seperti ini, siapa yang bisa menerima bahwa ini pengagungan dan pemuliaan?" tambah Semar dengan lirih dan dalam. Para arwah itu terdiam seketika, seolah menyadari ucapan Semar. Dengan tenang, kemudian Semar mengantarkan para arwah menuju pintu perjalanan yang sebenarnya. Perlahan mereka berlalu, meninggalkan keduniawian yang kian kosong ini. Kepedihan Semar kian menyayat. Perjalanannya dipenuhi berbagai gambaran buruk tentang berbagai peristiwa yang menimpa kawula Hastinapura. Di berbagai wilayah, penyimpangan keputusan pusat tengah terjadi. Pajak hasil bumi, laut dan perdagangan kian membesar dan bila tak terpenuhi, maka nyawa menjadi gantinya. Ucapan Yudhistira di istana gading itu seolah menjadi pedang-pedang pemenggal kehidupan, di lapangan. Dengan mudahnya berbagai tuduhan dilontarkan. Bahasa sandi "kala", kependekan dari "kawula lami", atau pengikut setia Prabu Suyudana, dengan mudah terlontar dan menempel pada siapapun yang dianggap tidak sejalan dengan paham baru. *** Rambutnya telah tersanggul dengan rapi. Hiasan kepalanya digantinya dengan corak yang lain. Dipeliharanya kumis dan dibiarkannya janggut melebat di dagu hingga pelipisnya. Kain penutup dadanya digantinya dengan warna ungu, dan dibiarkannya kain panjang itu menutup tubuhnya dan menjuntai bagai jubah di punggungnya. Orang tak akan mengenalnya lagi sebagai Aswatama. Dia membiarkan orang mengenalnya berasal dari sebuah negeri tua yang jauh tak terkira: Lokapala. Sebuah negeri yang oleh sebagian besar orang Hastinapura dianggap sebagai negeri dongeng, karena telah punah ditelan masa. "Tidak, ucap Aswatama dengan suara dan senyumnya yang ramah.. Dulu sekali, sebelum Prabu Rahwana lahir, Lokapala adalah negeri besar. Seni dan budayanya menyebar ke seluruh dunia. Namun, karena kesalahan para moyang kami, maka yang tersisa adalah ketragisan. Bahkan saudara-saudara sendiri menganggap negeri kami tinggal dongeng semata. Nyatanya, sayalah bukti hidup bahwa Lokapala adalah negeri yang nyata.. hanya saja: kecil." Aswatama sengaja memberi tekanan pada kata "kecil" sehingga orang-orang di kedai itu tertawa-tawa. Tertawa senang, bangga, bahwa Hastinapura dan terutama mereka, yang hidup di dalamnya, adalah sesuatu yang besar. "Aku pernah mendengar dongeng dari kakekku, bahwa orang-orang Lokapala terkenal sakti.. Bisakah Tuan Lintangkumbarapati memberikan sedikit bukti?" salah seorang menyela. Kerumunan di meja kecil itu ternyata tertarik dan setuju agar Aswatama melakukan sedikit pertunjukan. Aswatama tertegun, tak disangkanya mereka yang berpakaian sutra dengan cincin permata hampir di setiap jari mereka ini, semuanya menyebalkan. Akulah anak Begawan Dorna, guru para Pandawa dan Kurawa. Akan aku buat kalian ternganga dan tunduk pada kekuatanku. Aswatama berpikir sejenak, merencanakan sesuatu yang akan memberinya jalan bagi pemuasan dendamnya pada Pandawa. Dan kini, dengan sebuah permainan kecil, untuk memuaskan para manusia bebal, pandir dan tamak ini, Aswatama merasakan telah menemukan celah kecil yang akan membentangkan jalan menuju istana. Demikianlah, sang Aswatama, anak tunggal Dorna, yang terlimpahi kasih sayang dan ilmu sebagai penebusan rasa bersalahnya pada wanita yang melahirkan si bocah, menatap sebilah keris dan menegakkannya tanpa menyentuhnya sedikit pun. Mulut berdecak kagum, mata terbelalak tak percaya, lalu gelak tawa dan tepuk tangan kegembiraan tercipta di lingkaran kecil itu. Sejak itu, Aswatama, yang dikenal dengan nama Lintang Kumbarapati, lelaki dari Lokapala, menjadi anggota kerumunan orang-orang yang dekat dengan kalangan istana. Siapa pun menghormatinya, bukan karena Aswatama begitu ramah dan gemar menciptakan kisah-kisah ajaib, tetapi diam-diam mereka juga takut akan kekuatan sihir yang dimiliki lelaki berjanggut lebat itu. "Tuan Brajakempa.. kedatanganku kemari ingin minta bantuanmu.. " kata Aswatama pada malam menjelang upacara pemujaan Hyang Darma, yang dilaksanakan secara besar-besaran di seluruh negeri. (bersambung) Ke awal ringkasan Dan Daun pun Gugurlah... [8] Brajakempa, saudagar kayu cendana, dari Pringgandani. Dia masih kerabat Pangeran Brajamusti, yang tewas di tangan Gatotkaca-kemenakannya sendiri. Dia memiliki kelicikan dan keganasan darah denawa. Hutan-hutan Pringgandani adalah hutan cendana yang selalu tumbuh subur melimpah ruah. Dan dengan kedekatannya pada Sasikirana, putra Gatotkaca, dia berhasil menjadi penguasa tunggal hutan-rimba Pringgandani. "katakan saudaraku.. katakanlah apa yang bisa kuberikan sebagai bantuan kepadamu.." ucap Brajakempa sambil mempersilakan Aswatama duduk di sebuah kursi yang lebih mirip singgasana kerajaan. Aswatama sedikit ragu-tentu saja sengaja-ketika hendak menduduki kursi jati dengan sandaran tangan dari gading gajah tua, berukir dan berpermata indah itu. Brajakempa tertawa bangga, lalu dengan kebanggaan yang memuncak, dia mencoba berlagak dermawan. "Ayolaah.. ini memang tempat duduk.. Ayolah saudaraku.. " "Saya kira, saya tengah duduk di balairung Hastinapura.." seloroh Aswatama yang segera menyulut gelak tawa sang tuan rumah. Manusia sial-bebal, penjilat-laknat, apa yang kau pikirkan dalam hidup kecuali gemerlap permata dan kemilau emas berlian? Sebentar lagi, kepalamu akan bertengger di gerbang rumahmu. Maki Aswatama sambil mengembangkan senyum bahagia kepada si tuan rumah. "Saya memiliki sebuah benda yang sangat kuno.. sebetulnya sebuah warisan, entah sejak kapan berada di tangan nenek moyang saya.. " kata Aswatama setengah berbisik. Brajakempa menahan napas, seakan tersedot pada kekuatan bisikan Aswatama. Dalam benaknya, dia tengah menghitung, berapa pundi emas keuntungan apabila benda kuno itu dia jual ke kalangan istana. Pijar-pijar keuntungan menyala di benaknya. Perlahan-lahan senyumnya mencair. "Saya mengerti.. saya mengerti Tuan Lintang.. keadaan begini sulit.. jadi warisan keluarga pun kini jadi begitu berharga, bukan?" ucapnya dengan ketawa licik yang sengaja ditahan-tahannya. Bahunya terguncang-guncang menahan kegembiraan yang membayang di benaknya. Aswatama memasang wajah masam, seakan membenarkan tebakan Brajakempa akan kesulitan keuangan yang melilitnya. "Tapi.. bolehkah saya melihatnya, tuan Lintang?" bisik Brajakempa dengan tatapan mata liciknya. Gelambir lemak yang menggantung di lehernya, seakan dia adalah manusia babi dengan keserakahannya yang menggila. "Tuan Brajakempa, .. maafkan bila saya terlalu hati-hati dengan warisan saya ini. Benda ini dulu pernah menjadi rebutan para kesatria. Tentu tuan ingat kisah lama, lama sekali, yang sampai ke telinga kita lewat tuturan bunda, nenek atau pujangga-pujangga agung, kisah tentang Cupu Manik Astagina?" ucap Aswatama hati-hati, dia menunggu tanggapan si tuan rumah. "Ooooooh.." dan kesenyapan pun menebar dari mulut Brajakempa. Sesungguhnyalah dia tengah berpikir keras, mencari-cari sesuatu di lipatan ingatannya yang pendek dan dangkal itu tentang sesuatu yang disebutkan tamunya. Namun, meskipun menerawang, wajah tolol itu tak bisa menyembunyikan bahwa dia sama sekali tak tahu apa-apa tentang perkataan Aswatama. "Saya percaya, tuan adalah orang paling berpendidikan di wilayah Pringgandani ini, karenanya tuan tentu paham maksud saya.." Aswatama menikamkan tusukan yang melambungkan Brajakempa ke langit kebanggaannya. "Hemm!..hemm! Ya.., saya paham Tuan Lintang, saya paham.. tentunya itu di zaman.. mmm.." Dia berusaha agar Aswatama memberikan jawaban, namun kali ini Aswatama hanya bungkam. "Mm.. zaman .. dulu sekali, kan? Hahahahahahahaaa.." "Benar, Tuan Brajakempa. Karenanya, saya minta tolong.. apakah tuan mau menukarkannya dengan sekantung atau dua kantung emas yang tuan miliki? Tentu itu adalah harga yang pantas untuk Tuan." Brajakempa mengelap keringat yang membasahi keningnya. Yang dia pikirkan hanyalah bahwa dia akan kehilangan, paling tidak, sekantung emas miliknya. Hartanya! "Hmm.. tapi, ..mm.. bolehkah saya melihatnya terlebih dahulu? Tentu tuan Lintang tahu, kita membeli setelah kita melihat. Ada barang, baru ada uang.. itu hukumnya, kan? Hahahahhaaaa.." "Hahahahahahaaa.. Tuan Brajadenta memang pedagang ulung, tak heran jika kekayaannya menggunung.. hahahahhahaa.." Brajakempa kian melambung, lalu dijentikkannya jarinya dan seorang dara dengan payudara indah yang dibiarkannya terbuka, hanya dihiasi kain sutra tipis menerawang, hadir berjalan jongkok, sambil menghaturkan nampan berisi piala anggur. Aswatama tersambar kenangan keindahan Banuwati. Jantungnya seakan terhenti, namun segera dikuasainya dengan pura-pura membetulkan hiasan kepalanya. "Mari, mari Tuan Lintang.. sekadar penghilang dahaga.. hahahahha.." Setelah pengantar minuman itu undur, Brajakempa mendekatkan wajahnya pada Aswatama, "Tuan membawa benda kuno itu, bukan?" Ke awal ringkasan